Tuesday 22 December 2015
Antara Miss Colombia, Miss Kaltim 2014, dan Sensasi Sebuah Miss V
Saturday 19 December 2015
GOsex, Bukan Gojek Biasa
Friday 18 December 2015
PSK (Pahlawan Stabilitas Keamanan)
Friday 11 December 2015
Gurihnya Black Campaign
ANDA boleh gusar jika ada yang menggosipkan Anda dengan hal-hal jelek. Atau ada yang tahu rahasia yang Anda telah disimpan rapat-rapat, kemudian dibongkar dan diumum-umumkan di sosial media.
Di musim Pemilu, apapun jenisnya, mulai Pemilu legislatif, presiden, sampai pemilu kepala daerah (Pilkada) Serentak yang baru saja berlangsung 9 Desember 2015 kemarin, istilah black campaign menjadi hal yang paling dihindari. Tapi tahukah Anda, black campaign tidak harus selalu berbuah kejelekan.
Bagi sebuah kelaziman, orang yang tertimpa black campaign logikanya pasti akan terpuruk. Nama baiknya akan hancur, reputasinya bakal jelek, lebih-lebih karir politik. Seorang tokoh yang sedang terserang black campaign, biasanya akan jatuh tersungkur. Tidak sedikit petahana yang ambruk dihantam badai ini. Dan kondisi seperti ini tentu amat digemari oleh para lawan politiknya. Bahkan tidak sedikit yang sengaja membangun strateginya dengan mengkondisikan demikian.
Demi kentut Dewi Fortuna yang berhembus kancang di Pilkada Serentak tahun ini. Mereka yang tertimpa black campaign justru mendapat suara terbanyak dan merajai perolehan suara Pilkada. Taruhlah, nasib yang dialami Pasangan Calon Nadmi-Jaya yang mencalonkan diri sebagai Calon Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Sejak beberapa bulan sebelum pencobolosan, pasangan ini sudah diuji dengan namanya black campaign. Berangkat dari penggorengan ulang berita lama yang pernah diangkat banyak media soal kedekatan Darmawan Jaya dengan Lihan, terpidana kasus bisnis investasi yang ambruk di penghujung tahun 2009 silam dan meninggalkan banyak investor yang belum dikembalikan haknya.
Dimulai dengan diangkatnya berita lama itu dan disusul beredarnya foto-foto Jaya bersama Lihan di internet, yang di push dari website Banjarbaru Highlight. Hingga, jelang beberapa hari sebelum pencoblosan.
Upaya yang dilakukan makin gila dan massive. Yaitu dengan menyebarkan selebaran-selebaran yang mengangkat materi black campaign yang serupa dengan di internet, dengan mengekpose besar-besaran foto kebersamaan Jaya dan Lihan ke kampung-kampung. Tapi apakah Nadmi-Jaya tersungkur? Tidak. Malah perolehan suaranya di luar dugaan.
Black campaign justru menjadi semacam iklan gratisan yang menuai suara dukungan buat mereka berdua, karena sebagian besar warga bersimpati dengan nasib Jaya yang dianggap sedang teraniaya.
Jaya bukan satu-satu contoh "korban" black campaign yang malah menuai suara dukungan. Di Pilkada serentak lain kota, Pasha Ungu bersama pasangannya yang bertarung memperebutkan posisi calon wakil walikota Palu. Posisi Pasha persis seperti Jaya, sama-sama dibidik isu, dan sama-sama menjadi calon wakil walikota. Betapa gencarnya isu foto mesra dirinya dengan artis Angel Caramoy menghias layar kaca hampir seluruh stasiun televisi.
Sungguh dahsyatnya, sampai-sampai saya termasuk yang meyakini, black campaign seperti ini akan berdaya dobrak tinggi untuk menjatuhkan karir politik keduanya. Kalau tidak hancur lebur, ya setidaknya pada Pilkada kali ini dia kehilangan banyak suara. Tapi ternyata saya keliru. Pasha Ungu yang berpasangan dengan Hidayat ini justru memang mutlak dari lawan-lawan politiknya.
Fenomena ini tentu akan jadi kajian menarik untuk diteliti. Sangat boleh jadi, fakta ini nantinya bakal jadi bahan yang sangat layak untuk desertasi para kandidat doktor politik di tanah air. Walaupun, kecenderungan seperti ini di ranah yang berbeda, sudah menjadi hal biasa.
Misalnya, kampanye larangan merokok dengan mencantumkan daftar penyakit mematikan di bungkus rokok yang tidak kunjung membuat penikmatnya menghentikan kebiasaan merokok. Bahkan terkini, "black campaign" anti rokok ini sampai mewajibkan produsen rokok menyantumkan foto-foto "menjijikan" para korban nikotin yang sampai berlubang tenggorokannya, paru-paru menghitam yang hanya dibingkai tulang tengkorak dada penderitanya. Sampai foto seorang ayah merokok sambil menggendong bayi, yang harusnya perlu diperdebatkan lagi, apakah penyantuman foto bayi seperti itu diperbolehkan secara etika.
Lantas apakah perokok menjadi berkurang dengan kampanye dan penyebaran foto-foto mengertikan seperti itu? Anehnya justru tidak. Penikmat rokok, berdasarkan survei-survei justru meningkat tajam. Makin banyak perokok pemula di kalangan remaja dan anak-anak yang malah penasaran ingin mencoba.
Kampanye serupa, yang awalnya untuk mencegah masyarakat mendekati lokalisasi, dengan memasang pengumuman besar-besar di depan jalan masuknya: "Dilarang Melakukan Tindak Prostitusi di Kawasan Ini" justru membuat warga yang sebelumnya tidak tahu dan juga malu bertanya arah jalan masuk ke tempat "begituan", jadi tahu. Menjadi makin semaraklah lokalisasi dengan penikmat-penikmat baru.
Saya sampai kepikiran begini, ketika jagat infotainment dihebohkan dengan kasus prostitusi online yang melibatkan artis-artis ternama, harusnya para artis yang memang memiliki usaha sampingan melayani "kepuasaan" penggemar rahasia mereka, tidak mencak-mencak. Karena sesungguhnya ini iklan gratis yang menguntungkan. Karenanya tidak perlu memasang iklan mahal-mahal di koran kuning, atau iklan televisi di waktu-waktu primetime.
Ketika wartawan mengkonfirmasi, akui saja, kalau perlu sambil menyebutkan tarif yang lebih mahal dari tarif aslinya. Sehingga ketika ditelepon pejabat atau pengusaha yang mau ngajak ngamar, mereka tidak perlu berpanjang negosiasi harga. Cukup bilang: "Anda pernah nonton tv 'kan. Nah, tarif saya segitu, tidak kurang tidak lebih. Titik."
Tidak perlu malu. Toh, Ariel Peterpan yang kini jadi Ariel Noah tetap tidak kehilangan penggemar walau video "ah-uh"nya bersama Luna Maya dan Cut Tari mendunia. Malah, jangan-jangan sekarang, banyak wanita, terutama yang berduit, penasaran sambil mengkhayalkan rasanya bersama Ariel. Tinggal Anda, berani atau tidak berjudi dengan nama baik. Kalau berani, tak ada salahnya dicoba. Terutama bagi yang lima tahun mendatang mencoba peruntungan di dunia politik.
Anda tinggal menyebar-nyebarkan aib sendiri, dengan harapan rakyat bersimpati karena menganggap Anda telah di-blackcampaign-kan musuh politik dan harus dikasihani. Tapi, apakah Anda pasti akan seberuntung Jaya dan Pasha. Atau jangan-jangan Anda bunuh diri sekaligus menggali kuburan sendiri. ()
Thursday 3 December 2015
Jepit Testis dan Bawang Putih di Anus
Monday 19 October 2015
Juara itu harusnya Cuma Satu, Tapi…
TADI malam turnamen sepakbola piala presiden 2015 resmi berakhir. Sebagai juaranya Persib Bandung. Disusul di tempat kedua, yang biasa disebut sebagai juara kedua Sriwijaya FC. Pada pertandingan sebelumnya, atau pertandingan sehari sebelumnya, memperebutkan posisi 3 dan 4, berhadapan Arema Cronous melawan Mitra Kukar, yang menjadi satu-satunya asal Kalimantan yang selamat hingga fase semifinal.
Pada malam itu, pertandingan dimenangkan Arema dengan skor cukup telak 2-0. Karenanya kesebelasan asal Kota Malang Jawa Timur itu berhak mendapatkan gelar juara tiga dan menerima pengalungan medali (mungkin) perunggu. Dan ternyata, Mitra Kukar juga dianugerahi pengalungan medali. Entah berbahan apa. Kali ini memang sedikit istimewa, juara empat, yang harusnya tidak masuk hitungan juara itu, juga mendapatkan pengalungan medali. Ya, mungkin ini untuk melipur rasa kekecewaan saja. Juara empat masih dapat penghargaan dari panitia.
Tapi apa benar klub yang berada di posisi keempat saja yang harus diselamatkan dari rasa kecewa. Bagaimana dengan posisi kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya. Bahkan jauh sebelum turnamen piala presiden di mulai, mungkin juga ada digelar babak-babak kualifikasi, sehingga klub yang ikut turnamen, yang disebut-sebut sebagai kebangkitan persepakbolaan Indonesia yang saat ini masih dibayangi sanksi dari FIFA itu, juga bukan klub sembarangan. Mereka yang tidak lolos kualifikasi, juga harus tersingkir sebelum masuk ke pertandingan sebenarnya dalam turnamen. Mirip-mirip piala dunia-lah, yang pertandingan kualifikasinya pun sudah dibuat heboh begitu rupa.
Bagi klub yang tersingkir jauh sebelum turnamen dimulai, pastilah juga menyimpan kekecewaan. Sudah melakukan berbagai persiapan, eh baru bertanding sudah ketemu lawan berat dan langsung keok. Bagaimana tidak merasa kecewa. Seperti halnya nasib yang dialami Martapura FC yang harus berada di grup “neraka” bersama Persib Bandung dan Persebaya yang di tengah kompetisi mengubah namanya menjadi Bonex FC. Kekecewaan ini tentu harus juga dipikirkan oleh panitia. Kalau juara empat, yang sebenarnya juga tidak bisa disebut juara ini diberikan medali yang juga entah terbuat dari bahan apa untuk menyebutnya selain medali emas, perak, perunggu. Maka mereka yang terhempas di awal-awal kompetisi juga diberikan “kasih sayang” serupa biar adil.
Menurut sejarahnya, medali ini dimaksudkan untuk mewakili nilai-nilai Olympisme: Persahabatan, kehormatan, dan keunggulan dalam menghormati lawan. Bagi para pemenang, medali adalah simbol abadi kerja keras, latihan, ketahanan, sportivitas, dan kemuliaan tertinggi bagi dirinya sendiri dan bagi negaranya. Dan herannya, para pemenang Olimpiade Yunani kuno ternyata juga tidak mendapat medali sama sekali. Kecuali sebuah karangan bunga zaitun diletakkan di atas kepala sang juara. Peringkat kedua dan ketiga tidak mendapatkan apa-apa.
Barulah pada tahun 1896, tahun pertama Olimpiade modern digelar, hanya juara pertama dan kedua yang diakui. Karena perak dianggap lebih berharga ketimbang emas pada waktu itu, pemenang pertama dianugerahi medali perak dan sebuah mahkota dari cabang bunga zaitun. Para atlet yang menduduki peringkat kedua mendapatkan medali perunggu dan mahkota laurel. Setiap atlet yang berpartisipasi dalam Olimpiade menerima medali kenang-kenangan.
Pemberian medali kepada tiga pemenang teratas pertama kali diperkenalkan pada tahun 1904. Pada tahun yang sama, medali perak untuk juara pertama digantikan dengan medali emas. Medali emas pertama terbuat dari emas murni dan diberikan sampai tahun 1912. Namun saat ini, medali “emas” sebenarnya terbuat dari sterling silver yang dilapisi dengan lapisan tipis emas murni.
Dan kalau boleh kasih saran, kenapa tidak semua peserta saja diberikan medali dan penghargaan, seperti yang pernah terjadi di tahun 1896. Agar siapapun yang ikut pertandingan bola tidak jera dan merasa kecewa. Mungkin kedengarannya agak aneh, semua peserta mendapat medali. Tapi tak usah heran, awalnya gelar juara-juara selain juara satu juga terkesan aneh, sebab, kalau menilik kata kamus, juara itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang keluar sebagai pemenang, juara satu, sang juara, peserta terbaik. Dan yang namanya terbaik itu, awalan ter- adalah untuk mengartikan sesuatu yang tanpa banding. Tak mungkin ada yang ter- untuk posisi kedua, tertiga, dan belakangan ada lagi yang terempat. Kalau mau, sekalian aja dibuatkan juara sampai 10, atau yang mendapatkan gelar tersepuluh.
Saya teringat dulu waktu bersekolah SD, demi memotivasi siswa untuk terus berprestasi di kelas, pihak sekolah kemudian membuat semacam kompetisi, mereka yang memiliki nilai terbaik, maka dia berhak mendapat gelar juara satu. Bagi yang memiliki nilai dibawahnya, menjadi juara dua, tiga dan seterusnya. Waktu itu sampai dibuatkan juara harapan satu dua, tiga, untuk mereka yang memperoleh prestasi di tingkat keempat, lima dan enam. Bedanya dengan juara satu dua dan tiga, mereka yang berada di posisi 4, 5, dan 6 ini hanya maju ke depan kelas dan tidak mendapatkan bingkisan berupa buku dan peralatan sekolah dari kepala sekolah seperti halnya juara satu, dua dan tiga.
Bagi yang juara satu, dua, dan tiga pun, dari segi jumlah hadiah juga dibedakan. Kalau juara satu mendapatkan paling banyak hadiah, buku sampai 12 lembar atau satu lusin, dengan tambahan pulpen, pensil dan penghapus, juara kedua bukunya tinggal setengahnya, hanya sekitar enam lembar, dengan pensil dan pulpen, sedangkan juara tiga, bukunya tinggal 4 lembar dengan alat tulis hanya pensil dan penghapus. Sementara, juara harapan satu, dua dan tiga, hanya dapat tepuk tangan dan salaman dengan kepala sekolah. Dengan tepuk tangan pun saya sebenarnya ragu memastikannya, apakah itu untuk mereka yang bertiga terakhir itu, atau jangan-jangan tetap untuk sang juara. Perhatian pun, saya kira, hanya tertuju untuk sang juara. Semua mata akan tertuju penuh ke arah sang juara, bahkan mungkin tidak untuk juara dua dan tiga, apalagi cuma harapan satu, dua, maupun tiga. Paling-paling orang tuanya yang masih menyisakan sedikit rasa bangga, bahwa anaknya nyaris saja mendapat bingkisan alat tulis.
Itu artinya, juara itu sebenarnya hanya satu orang, seseorang yang benar-benar keluar sebagai pemenang dalam berbagai kompetisi. Tengoklah lagi definisi dari juara, baik yang tertera dalam kamus bahasa Indonesia, maupun dalam terjemahan Wikipedia.
Dalam kamus bahasa Indonesia, juara diartikan sebagai orang (regu) yang mendapat kemenangan dalam pertandingan yang terakhir; 2 orang yang gagah berani; orang yang pandai bersilat; pendekar; jagoan; 3 pengatur dan pelerai dalam persabungan ayam; 4 pemimpin peralatan (pesta dan sebagainya); 5 ahli; terpandai dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya)
Sedangkan dari versi wikipedia, juara adalah seseorang maupun kelompok yang telah memenangkan turnamen, kompetisi, liga, Olimpiade, atau kontes dalam bidang tertentu (misal bidang seni, kesenian, olah raga, menyanyi, ataupun iptek dan sains, dan lain-lain). Seseorang atau tim dapat menjadi juara di tingkatan yang berbeda, dan gelar juara sendiri diberikan pada pemain terbaik.
Dari sini kan jelas, kalau sang juara itu adalah mereka yang menjadi pemenangnya, bukan juara-juara lainnya yang berada di bawahnya, satu-dua tingkat dan seterusnya. Kalaupun panitia menyiapkan medali lainnya, biasanya perak untuk juara dua, perunggu untuk ketiga, dan (mungkin) alumunium untuk juara empat dan seterusnya, semata-mata hanyalah untuk mengobati rasa kecewa saja. Harusnya jangan tanggung-tanggung, sekalian saja dipikirkan gelar-gelar lainnya untuk mereka yang kurang beruntung. Teladanilah kompetisi serupa seperti pemilihan putri Indonesia. Ada banyak gelar diberikan untuk mereka-mereka yang kalah cantik dengan sang putri terpilih. Ada yang menjadi puteri Indonesia Lingkungan, ada yang bergelar putri Indonesia Pariwisata, ada puteri dengan kostum terbaik, pinggul terseksi, galungan sanggul yang futuristik, dan lain-lain.
Juara keempat, kelima, dan keenam, kita semua sudah paham. Mereka otomatis digelari juara harapan 1, harapan 2, dan harapan 3. Bagaimana dengan juara ketujuh, delapan, dan sembilan? Cari saja istilah lain seperti halnya “harapan” tadi. Misalnya, impian. Jadi, mereka yang hanya berhasil mendapatkan posisi di urutan ketujuh, kedelapan, dan sembilan, berhak mendapat gelar juara impian 1, impian 2, dan impian tiga. Begitu seterusnya, sampai (kalau diperlukan) ada yang bergelar juara khayalan 1, khayalan 2, dan khayalan 3, hehehe…
Sehingga ketika pulang ke daerahnya masing-masing, dalam jumpa pers dihadapan wartawan disaksikan kepala daerah, mereka masih bisa berbangga. “Alhamdulillah, kami berhasil mendapat medali plastik dan memperoleh gelar juara impian satu". Atau begini: "Kami bersyukur, masih bisa mendapat gelar sebagai juara khayalan satu, dan berhak membawa pulang medali dari batu akik".
Wartawan pun jadi enak membuatkan narasi dan judul beritanya; "Warga Provinsi Anu Bawa Pulang Medali Plastik". Pada sub judul ditulis: " Juara Khayalan Satu Turnamen Anu". Sehingga dalam setiap kompetisi tidak seorang pun yang merasa kalah, kecewa karena tidak mendapat gelar juara. Uang yang diberikan saat mendaftar pun terasa tidak sia-sia, sebab toh oleh panitia juga akan dikembalikan dalam bentuk medali-medali itu dan hadiah berupa uang pembinaan tentunya. Walaupun jumlah dan besaran nilainya tidaklah sama dengan yang menjuarai satu dua dan tiga.
Dari segi keamanan juga sangat bermanfaat. Karena semua happy mendapat gelar juara, maka tidak ada sporter yang merasa kecewa, terus tawuran dan membuat kerusuhan di dalam stadion, atau menembak-nembakkan laser kearah mata penjaga gawang lawan, sebab toh, klub kesayangannya pasti juara, entah juara apa dan apa.
Lagi pula begini, tujuan dari setiap pertandingan itu kan, terutama olahraga, kadang juga tidak untuk memilih siapa yang terbaik, tapi nilai persahabatannya. Dan ini yang lebih penting ketimbang juara-juaraan, pertandingan untuk mempererat persahabatan, bukan untuk gengsi-gensian, apalagi untuk taruhan. Disadari ataupun tidak, semua itu bergeser dari tujuan awal digelarnya sebuah kompetisi.
Apalagi dalam kompetisi olahraga, olahraga sendiri kan untuk kebugaran tubuh. Bagi siapapun yang melakukannya, diharapkan akan mendapatkan tubuh yang bugar, sehat jasmani dan rohani. Kalau semua orang sudah mendapatkan kesehatan jasmani dan rohani dari Tuhan, apakah ada yang lebih besar nilainya dari kesehatan itu. Apa enaknya, apa hebatnya juara tapi tidak sehat. Juara tapi kaki atau tulang rusuk patah, otak gegar akibat tawuran di tengah lapangan, atau sampai kehilangan organ tubuh segala. Saya lebih memilih, mending lari-lari kecil untuk berolahraga dan mendapat kesehatan sebagai bentuk juara dari Tuhan, daripada gelar juara dari manusia namun mengecewakan orang lain. Begitu menurut saya. ()
Saturday 17 October 2015
Satu Antrean di Depan Ruzaiddin
SAAT mulai menulis coretan ini sebenarnya saya agak khawatir dengan anggapan banyak orang yang mungkin menuduh saya sedang ingin mempengaruhi orang untuk memilih Ruzaiddin menjadi walikota kembali. Bukan, sama sekali bukan. Saya hanya ingin berbagi hikmah. Dari sebuah sikap mulia yang harusnya dapat dijadikan contoh oleh siapapun di kolong langit ini.
Kisah seseorang yang sedang berada di puncak karir gemilangnya, namun tidak lantas angkuh, dan tetap rendah hati. Padahal di posisinya sekarang untuk menjadi tinggi hati sekalipun, orang akan tetap bisa memakluminya. Tapi dia tidak mengambil sikap ini. Dia justru mengambil jalan sunyi, untuk tetap menjadi biasa-biasa saja dan menganggap jabatan mewah yang tersampir di pundaknya bukanlah sesuatu yang dapat membuat jarak antara dirinya dengan manusia lain.
Pantaslah, sebagian orang pernah bilang, Ruzaiddin itu sesosok orang yang terus mencoba menjadi malaikat untuk orang sekitarnya. Memang bukan selalu untuk menolong, tetapi seorang malaikat yang menginspirasi banyak orang.
Ada peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, ketika sedang antre di sebuah bank dekat SPBU COCO Banjarbaru. Sebelum pindah ke tempatnya yang sekarang di km 34, bank tersebut memang selalu bikin kesal. Bukan saja karena area parkirannya yang selalu penuh sampai memakan badan jalan dan membuat macet lalu lintas ketika melewati jalur itu, tapi juga antrean nasabahnya yang panjang dan membuat kesal setiap orang yang sedang berurusan di bank tersebut. Tentu saja saya salah satunya. Saya salah satu nasabah yang sempat kesal lantaran antrean yang selalu mengular.
Untuk berurusan menarik atau menyetor uang saja, semua nasabah harus rela berdiri mengantre. Iya, berdiri, berbaris seperti masa anak-anak bermain permainan ular naga. Tidak duduk di kursi seperti sekarang, sambil memegang kupon antrean dan menunggu nomor kita dipanggil. Untuk menyetor atau menarik uang yang sebenarnya adalah uang mereka sendiri saja sampai harus mengantre sedemikian rupa, kayak rakyat yang hidup di orde lama dulu yang saya pernah lihat di layar televisi atau film dokumentasi nasional, yang mempertontonkan pemandangan orang-orang berkain tepung yang antre beras.
Saya maklum, ketika itu kondisi perekonomian Indonesia sedang morat-marit tidak karu-karuan. Tapi sekarang beda urusan, kondisinya sama sekali tidak seburuk itu. Mereka yang mengantre ke bank itu, tentu saja orang yang berurusan dengan uang mereka sendiri. Sebagian besar malah orang kaya, berduit. Apalagi ketika itu, seingat saya sekitar tahun 2012, bukanlah berada dalam kondisi krisis, dimana ekonomi berjalan cukup baik, normal dan stabil. Tapi ini kok masih ada antrean, bahkan untuk urusan menabung uang. Ini sungguh keterlaluan menurut saya.
Tapi apa boleh buat, saya toh tetap ikut antrean. Namanya juga antre, datang belakang, harus rela mengantre di urutan paling belakang. Yang lebih membuat saya ngilu itu, antrean di depan saya, panjangnya minta ampun. Kalau saya hitung-hitung, ada sekitar 14 orang di depan saya. Kondisi ruangan yang sempit membuat pengantre harus rela berbaris berkelok-kelok mengikuti pita merah yang dipasang petugas bank.
Sesuatu yang membuat sabar hanyalah paras-paras menarik petugas bank yang selalu mengumbar senyum dan AC ruangan berpewangi yang terus hidup. Untuk membayangkan listrik dan AC yang mendadak padam saja sungguh dapat membuat saya lemas dan menyerah.
Kondisi yang serba menjemukan itu tak ayal membuat saya jadi mengkhayal yang bukan-bukan. Misalnya membayangkan enaknya jadi pejabat atau orang penting. Kalau saya pejabat, tentulah tak perlu sampai mengantre sedemikian. Atau mungkin asyik juga seandainya menjadi orang kaya atau menjadi nasabah utama bank ini. Baru memarkir mobil saja sudah disambut terbungkuk-bungkuk oleh sekuriti dan pimpinan bank. Tak perlu capek-capek antre seperti ini.
Tapi itu tentu saja bukanlah khayalan yang mudah diwujudkan. Apalagi ketika melihat saldo di buku tabungan yang tidak lebih satu juta. Satu-satunya yang paling memungkinkan orang konyol seperti saya adalah menjadi Mr Bean. Anda pasti tahu dengan orang ini, bukan. Tokoh yang kalau main filmnya itu tak pernah ngomong. Seseorang yang diceritakan jatuh dari planet antah berantah yang selalu bertindak konyol dan tidak jarang malah beruntung dengan kekonyolannya itu.
Dalam serial filmnya yang pernah tayang di sejumlah televisi dan pernah juga saya tonton di youtube, ada cerita tentang Mr Bean yang sedang antre di sebuah bioskop. Dia berada di barisan paling belakang untuk mengantre tiket. Karena ingin terburu-buru, Mr Bean berusaha mengakalinya dengan mengerjai pengantre di depannya. Entah itu dengan mencolek, merenggut barang bawaan pengantre di depannya, atau hal-hal usil lainnya yang dapat memecah konsentrasi para pengantre, sehingga dia dapat mudah menyalip posisinya sedikit demi sedikit. Begitu terus, dengan tingkah menggelikan yang cerdas, Bean sukses merangsek sedikit demi sedikit ke depan, dan berhasil menjadi berada di antrean terdepan.
Saya pikir, trik Mr Bean inilah yang paling pas untuk saya, tanpa perlu menjadi nasabah terkaya, atau menjadi pejabat yang berkuasa. Saya cukup menjadi Mr Bean, ya Mr Bean, dengan mengusili pengantre lainnya, sedikit demi sedikit merengsek maju ke depan. Tapi tunggu dulu, saya tetap harus waspada. Kalau saya saja mampu berkhayal seperti ini, orang yang di belakang saya pun pasti bisa juga. Jangan sampai saya justru yang jadi korban.
Manusiawi, sebagai bagian dari upaya pertahanan diri dan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, oleh “Mr Bean” lain di belakang saya, saya perlu melakukan teknik khusus yang tidak terlalu sukar dilakukan, yang harus saya lakukan sealami mungkin. Dengan sedikit memiringkan badan, saya mencoba menengok ke belakang untuk mempelajari keadaan. Dan, astaga! Saya kaget bukan main. Di belakang saya, mengantre orang yang paling terkenal dan dihormati di kota ini. Walikota Ruzaidin.
Khayalan saya tentang beragam cara licik untuk menghancurkan barisan antrean demi untuk mempercepat maju ke antrean terdepan, buyar seketika. Hanya karena mengetahui, orang yang berada tepat di belakang saya ternyata walikota. Walikota yang terlihat begitu sabar mengantre. Padahal kalau dia mau, bisa saja meminta pegawai atau pimpinan bank untuk memberikan pelayanan istimewa kepadanya. Atau menyuruh ajudannya menggantikan dia antre. Agar ketika pas berada di depan kasir yang cantik-cantik itu, dia yang kemudian melanjutkan tanpa capek mengantre. Namun sang ajudan malah terlihat santai, berbincang-bincang dengan sekuriti di pintu masuk ruangan.
Sebagai warga kota yang tahu sopan santun, dan masih memiliki sedikit tata krama, saya menganggukkan kepala, menyalami dan mempersilakan beliau bertukar tempat dengan saya. Tapi dia hanya senyum. “Sesuai antrean saja,” katanya tegas.
Karena suara saya sedikit gaduh, beberapa orang di bank, terutama mereka yang antre di depan saya turut menengok, dan sama-sama terkejut, ternyata ada Pak Wali di belakang. Banyak juga yang kemudian menyalaminya dan berbuat seperti saya, merelakan antreannya untuk sang walikota. Tapi juga ditolaknya. Sebuah sikap yang serasa menampar muka saya.
Jauh sebelum saya menuliskan cerita ini, saya pernah juga menuturkannya pada seorang teman. Dan ternyata dia punya pengalaman yang lebih menarik. Memang masih seputar antrean.
Kata dia, dia mendapat cerita ini dari adiknya yang seorang dokter. Suatu ketika, Ruzaidin pernah berobat ke rumah sakit. Dan seperti sikapnya di bank, dia juga ikutan antre di loket pendaftaran, turut menunggu sampai namanya dipanggil untuk cek kesehatan di rumah sakit. Padahal, sebagai seorang kepala daerah, dia cukup menelepon kepala rumah sakit untuk membawanya ke ruangan khusus dan cek up di sana. Atau cukup memerintahkan kepala dinas kesehatan atau kepala rumah sakit untuk mengirimkan dokter terbaik memeriksa kesehatannya di rumah. Tapi entah mengapa itu tidak dilakukannya. Dia rela capek antre dengan wajah sedikit pucat karena sakit, dan duduk di kursi antrean yang terbuat dari alumunium. Dan sang dokter, adik teman saya itu, yang mengetahui kehadiran walikota, langsung tergopoh-gopoh mendatangi sang walikota.
Adik teman saya itu “memaksa” masuk ke sebuah ruangan untuk menjalani cek up. Tapi ditolaknya. Dia memilih antre seperti kebanyakan yang dilakukan warganya. Suasana pun mendadak ramai. Hampir semua pasien dan keluarganya berebut menyalami dan berbincang-bincang.
Cerita tentang sikap mulia seperti inilah yang ingin saya bagi, menceritakannya kepada Anda-Anda. Bukan bermaksud untuk mempengaruhi pilihan Anda di saat Pilkada nanti. Saya pun yakin, Anda tentu sudah memiliki pilihan sendiri. Saya pun, walaupun sempat terkagum dengan sikap rendah hati Ruzaidin, belum tentu di bilik suara, saya memilih dia. Saya hanya berharap begini, sikap ini juga bisa ditiru calon kepala daerah lainnya. Tepat tertib dan mau antre, membaur dengan warganya dari berbagai kalangan. Tanpa ingin meminta fasilitas istimewa, walaupun di posisi yang sebenarnya bisa melakukan apa saja.
Demikian. Saya telah belajar banyak hikmah dari kerendahan hati seorang Ruzaidin. Dan pernah berbangga, bahwa saya pernah berada di depan dan membelakangi seorang paling berkuasa di kota saya, hehehe...()
Tuesday 6 October 2015
Kelewatan, Lagu Indonesia Raya jadi Musik Dugem
Saat buka-buka internet, saya nemu berita seperti ini di http://www.citizenjurnalism.com, judulnya: Lagu Indonesia Raya di Tempat-Tempat Dugem dengan Irama House Music. Kalau memang faktanya seperti ini, saya jadi gak habis pikir. Apa memang di dunia ini sudah kehabisan lagu yang bisa dibikin house music, sampai-sampai harus "Indonesia Raya" yang dijadikan bahan untuk musik hancur macam itu. Dimana letak penghormatan kalian terhadap lagu kebangsaan. Lama-lama salawat nabi yang kalian house music-an, atau ayat suci yang kalian iramakan seperti itu.
Lagi pula, sejak awal saya tak pernah setuju, ada lagu yang diaransemen jadi musik dugem. Bikin rusak karya orang saja. Lagu yang mestinya dihayati secara sendu, oleh house music malah dibuat jingkrak-jingkrakan. Apaan? Ini lagi, lagu Indonesia Raya, ikut pula kena nasib serupa. Lagu kebangsaan itu lagu sakral bro, komposernya pun menyandang gelar pahlawan. Lha ini, lagunya kalian bikin lagu penggiring mabok ekstasi. Apa gak kelewatan. Saya rasa, aparat harus segera bertindak!
*******
Lagu Indonesia Raya Di Tempat-Tempat Dugem Dengan Irama House Music
KUPANG — Lagu berirama house music nan menyentak kerap dijadikan pengiring orang berajojing atau dugem di tempat hiburan malam (THM) seperti diskotek. Sayangnya, lagu yang di-remix itu bukan lagu biasa, tetapi lagu kebangsaan: Indonesia Raya!
Fakta ini ditemukan sudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia seperti di Banjarmasin. Dari lapak-lapak penjual DVD, VCD, CD bajakan serta di antara puluhan lagu beritme enerjik di dalam keping cakram seharga Rp 5 ribu terdapat lagu ciptaan WR Soepratman yang sudah dimodifikasi oleh disc jockey (DJ). Judul yang digunakan bukan Indonesia Raya tetapi Meylan atau Meyland. Diduga itu adalah nama DJ yang mengubah lagu tersebut.
Padahal, berdasar Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tegas disebutkan lagu tersebut tidak boleh disalahgunakan oleh siapapun. Hal serupa juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebanggsaan Indonesia Raya.
Bagaimana di Kupang? DJ di Kupang sudah mempunyai koleksi, namun belum berani mengiringi para dugemania untuk berajojing.
Di Dancing Hall Kupang, misalnya, DJ Sound dimainkan oleh DJ Chaed. Tempat hiburan malam yang menjadi maskot hiburan di Kota Kupang ini memang tidak seramai biasanya. Namun, tempat hiburan ini akan penuh penggila dunia malam pada Jumat malam dan Sabtu malam. “Biasanya ramai juga, tapi kalau semakin malam baru ramai. Kalau Jumat dan Sabtu biasanya ramai mulai jam 10 malam sampai hampir pagi,” tutur salah seorang pengunjung.
Sementara itu, DJ Chaed terus memainkan musik elektone tersebut. Berbagai hentakan musik pun dipamerkan sang DJ untuk mengajak para audiens bergoyang di lantai dansa.
Setelah dua jam menikmati hentakan musik, tak satupun lagu kebangsaan atau lagu- lagu perjuangan yang dibawakan oleh DJ Chaed. Padahal lagu Indonesia Raya dengan versi remix kini tengah menjadi salah satu lagu pilihan beberapa DJ di tempat hiburan malam.
Pengelola Dancing Hall, Hendrik, yang ditemui, Kamis (16/5/2013) malam, mengatakan, sejauh ini pihaknya belum pernah memutar atau memperdengarkan lagu Indonesia Raya versi remix di DH, meskipun urusan lagu sepenuhnya diserahkan kepada DJ. “Kami tidak pernah yang begitu. Kami tahu tempat hiburan, jadi tak mungkin membuka lagu kebangsaan untuk acara hiburan,” tegasnya.
Sebelumnya di Love Karaoke di Jalan Soeharto Kupang, juga tidak terdengar lagu tersebut. Padahal dua DJ cantik mengawal DJ sound tempat hiburan di kawasan ruko depan Hotel Sylvia itu.
Lagu Indonesia Raya versi remix memang bukan hal baru. Meski lagu versi ini tidak mudah mencari di tokoh-tokoh kaset atau kaki lima penjual CD dan DVD, namun lagu kebangsaan Indonesia ini sudah beredar di dunia maya yang bisa di-download.
Lagu Indonesia versi remix sejauh ini masih dalam bentuk instrumen yang dimodifikasi dengan mempercepat tempo pada partitur serta dimodifikasi lagi dengan hentakan-hentakan musik disco. Sehingga lagu ini tidak lagi menjadi lagu kebangsaan yang kita kenal, tetapi sudah menjadi lagu disco dengan mengadopsi lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Meski lagunya berdurasi satu menit 48 detik, namun warna musik mengubah banyak hal dari lagu aslinya. Lagu Indonesia Raya versi remix atau sejenisnya memang belum ditemukan di sejumlah tempat hiburan malam sebagai lagu hiburan. Namun bukan tidak mungkin suatu saat lagu sakral milik bangsa ini bisa menjadi lagu di tempat- tempat hiburan malam.
Kewajiban
Dalam Undang-Undang (UU) Tahun 2009 tentang Lagu Indonesia Raya sesuai pasal 58 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 menyatakan, Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya, yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman, berisi antara lain kewajiban dan larangan. Kewajiban lagu ini; a. Untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden; b. Untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara; c.
Dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah; d. Dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah; e. Untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; f. Dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan g. Dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
Kewajiban lain, Pasal 65 menyatakan, warga negara Indonesia berhak dan wajib memelihara, menjaga, menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara.
Penyalagunaan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya akan dikenakan sanksi. Atau setiap orang yang mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Alfred Dama)
Tiga Menit
TIGA menit itu kalau dikonversi ke detik menjadi 180. Karena satu menit adalah 60 detik, maka kalau tiga menit akan menjadi 180 detik. Tapi bukan itu yang saya bahas dalam tulisan berikut. Makna tiga menit bagi tiap orang beda-beda. Bagi wanita beda, begitu juga pria. Bahkan antar sesama wanita dan sesama pria pun, memandang durasi tiga menit itu dengan makna dan respon yang berbeda pula.
Tiga menit tentu saja tidak sebanyak 5 menit, apalagi satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, apalagi bertahun-tahun dan seterusnya. Namun tanpa tiga menit, tentunya tidak bakal mencapai 5 menit, satu jam, satu hari dan seterusnya. Tidak pernah sekalipun waktu itu tiba-tiba lompat, seperti urutan bangku pesawat yang tidak pernah mencantumkan nomor 13 di bangku pesawat. Tak pernah melompat dari dua menit langsung ke menit 4 tanpa melewati menit 3. Sekecil apapun anggapan orang terhadap tiga menit, tetap saja dia sangat menentukan.
Tiga menit tambahan waktu bagi sebuah pertandingan bola di partai yang sangat menentukan hidup mati sebuah klub bola tentu sangat menentukan. Apapun bisa terjadi dalam tiga menit waktu tambahan tersebut. Satu gol bisa saja tercipta di masa injury time. Mengubah sebuah harapan dari berharap menjadi pupus, atau sebaliknya, dari awalnya tidak berharap, menjadi sebuah kesempatan yang tidak boleh dibuang begitu saja.
Bagi petinju yang sedang bonyok di atas ring, waktu tiga menit bisa menjadi harapan sekaligus ketakutan. Siapa yang bisa jamin, seorang petinju tidak bakal terpukul KO dalam waktu tiga menit. Seorang petinju yang lengah, dapat saja tersarang pukulan di daerah mematikan dan jatuh, KO, dan tak bangun lagi. Walaupun sepanjang pertandingan di ronde-ronde awal dia sudah memimpin angka dan dipastikan bakal menang.
Seorang pelari yang sedang beradu sprint dengan pelari lain, tiga menit itu sudah terlalu banyak. Untuk jarak 100 meter, kalau harus menempuhnya dalam tiga menit, sudah dipastikan dia bakal kalah. Kecuali dia lari untuk kategori maraton.
Seorang ibu yang sedang berjuang melahirkan anaknya, terlambat tiga menit saja, jangankan tiga menit, tiga detik saja terlambat, maka dapat saja nyawa dia atau anaknya bakal terancam. Begitupun dengan seseorang yang tengah berada di ruang ICU, tiga menit, bisa saja menjadi waktu yang sangat lama untuk perjuangan mempertahankan selembar nyawanya.
Tiga menit bagi seorang wanita dan tiga menit bagi seorang pria yang sedang ML tentu berbeda rasanya. Ada yang merasa itu terlalu cepat, ada yang malah merasa itu sudah sebuah pencapaian yang maksimal dan jantan.
Bicara tentang tiga menit dan kejantanan, saya pernah punya pengalaman menarik. Suatu ketika, di waktu yang kurang tepat, saya pernah menumpang pulang dengan seorang teman. Mengapa waktunya kurang tepat, karena pada saat itu dia rupanya sudah punya rencana mau singgah di suatu tempat. Hanya mungkin karena tidak enak menolak, dia terpaksa membawa saya.
Belum sampai ke tempat tujuan, motor dia belokan. Rupanya dia sedang kebelet pengen buang hormon di Lokalisasi. Setelah mutar-mutar dari satu rumah cinta ke rumah cinta yang lain, akhirnya dia menghentikan motornya di sebuah rumah yang ada warung di depannya. Di sana ada beberapa wanita berpenampilan menggoda. Pesan kopi, dan mulailah teman saya memasang mata elangnya. Ketika mantap dengan salah satu wanita, dia menariknya ke dekat kami. Negosiasi pun dimulai.
Karena saya merasa tidak berkepentingan dengan urusan itu, salah memilih aktivitas lain; menghitung waktu. Dari waktu singgah, pesan kopi, negosiasi, hingga lamanya durasi dia kencan di kamar. Dengan satu kesimpulan, mereka hanya ML selama tiga menit, namun sama-sama puas. Buktinya ketika keluar kamar, sang wanita masih bergelayut manja di lengan teman saya, dan wajah teman saya pun cerah.
Mungkin karena lega hajatnya tertuntaskan dan si wanita, wanita dengan pakaian serba kekurangan itu, saya yakin juga puas karena dagangannya laku hari itu. Walaupun saya tidak begitu yakin dia puas secara biologis. Itulah mungkin yang membuat para pria memilih membuang kelebihan energinya di tempat begituan, karena rata-rata wanita disana sangat lihai membuat pria percaya diri. Selemah, seloyo, seletoi apapun dia. Setidaknya begitu alasan teman saya yang sudah beristri namun masih suka jajan. Walau tidak sepenuhnya benar seperti itu, sebab ada saja pria-pria hidung berwarna yang malah sangat tertantang memuaskan pasangan sesaatnya. Mereka sampai rela menenggak darah ular, mengonsumsi obat stamina, meminum jamu sehat lelaki untuk meningkatkan vitalitas. Termasuk mendatangi tabib dan dukun untuk menjalani terapi khusus, mempermak alat vital mereka, hanya untuk tampil “jagoan” di depan istri bayaran.
Seorang kawan lainnya begitu semangat menceritakan kesuksesannya menaklukkan seorang wanita malam hanya dengan selembar tissue ajaib yang dipesannya secara online. Kata dia, ini cara paling aman yang sama sekali tidak memiliki resiko kesehatan maupun serangan jantung yang kerap terjadi pada mereka yang meminum obat vitalitas. “Cukup diusapkan di bagian ‘itu’ sebelum main,” katanya. “Efeknya hanya sedikit panas dan agak kebas, selama sekitar 6 jam. Kalau mau terbebas dari efek tissue itu, cukup dicuci dengan sabun.”
Kalau hanya untuk memuaskan lawan main, sementara kita tidak merasakan apa-apa, buat apa. Bukankah kita datang, menghabiskan uang di tempat yang begituan untuk memuaskan diri, menuntaskan hasrat. Saya sungguh tak habis pikir. Masa hanya untuk berbuat dosa saja sampai harus menanggung kerugian sedemikian banyak. Rugi lahir dan di dalam bathin. Uang habis untuk bayar jasa seks dan peranti penguat vitalitas, sedangkan kepuasan sama sekali tidak di dapatkan.
Ada lagi trik lain yang digunakan seorang kawan untuk menaklukkan para penjaja kepuasan. Cara ini memang lebih murah, lebih aman, dan rendah resiko. Yaitu dengan melakukan onani sebelum ngamar. “Kita bisa lebih mudah mengendalikan diri dan mengendalikan tempo permainan,” ujarnya.
Mengapa harus main lama-lamaan di atas ranjang. Mereka punya banyak alasan. Pertama ingin menunjukkan kalau mereka jantan. Kedua dendam. Untuk alasan kedua ini, mungkin si pria ini pernah mengalami nasib dihina saat keluar lebih cepat, oleh pasangan resmi maupun rentalannya. Alasan ketiga, ada beberapa Lokalisasi yang menerapkan aturan beli, bukan dengan jam-jaman, seperti sekian jam bayar sekian. Tapi seberapa kuat tamu bisa bertahan. Umpama dia mampu bertahan seharian penuh, maka seharian itu pula dia bisa menikmati kebersamaan.
Alasan lainnya, kejiwaan. Ada pria yang merasa senang ketika melihat lawan terkapar tak berdaya, terengah-engah mengimbangi permainannya, bahkan kalau bisa sampai harus gigit kain segala. Pokoknya, jangan sampai keok kurang dari satu ronde pertandingan tinju alias harus mengaku kalah dalam tiga menit. Bahkan kalau bisa nih ya, dia bisa membawa perempuannya bertandingan berkali-kali, beronde-ronde tanpa harus “keluar” duluan.
Namun tiga menit bagi orang bijak tentu sangat jauh berbeda. Tiga menit dapat menjadi waktu yang sangat menentukan, apakah dia memilih kalah dan memperturutkan nafsu sesaat dan berujung kerugian di kemudian hari. Tiga menit yang membuat hancur keluarga, atau menderita penyakit tertentu dan menularkannya kepada istri yang tidak berdosa di rumah. Tiga menit yang membuat dia akan menerima nasib yang lebih mengenaskan di akhirat nanti, karena harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan.
Tiga menit juga akan menjadi waktu yang sangat krusial bagi nasib suatu bangsa di bilik suara. Salah sedikit saja dalam menentukan pilihan, seorang warga negara yang baik, yang sedang menentukan hak pilihnya, dapat saja turut berdosa dan menyesal di kemudian hari karena telah salah memilih pemimpinnya. Karena itu, gunakan sebaik-baiknya waktu, karena waktu tak dapat diputar ulang, walau hanya tiga menit. ()
Wednesday 30 September 2015
Antara Cok Simbara, Abidinsyah, dan Pilkada Banjar
TERUS terang, secara pribadi, saya tak mengenal pria ini. Saya pun tidak terlalu peduli dengan baliho yang memampang fotonya. Mengenakan kemeja biru, rapi dan berpeci. Reklame berukuran besar ini muncul di momen tertentu. Biasanya di hari besar keagamaan, HUT kemerdekaan, hari jadi daerah, dan momen peringatan lainnya. Bersamanya ada ucapan-ucapan selamat dan kata bijak yang terkait dengan momen yang menjadi alasan iklan itu di pasang.
Lokasi pemasangannya selalu sama, di dekat jembatan Sungai Pering, pojok terminal Pasar Belauran Martapura, Bundaran Km 17, dan beberapa spot strategis lainnya. Namun yang pasti, baliho bergambar pria berwajah ganteng itu – setidaknya demikianlah menurut penilaian istri saya – tidak pernah melampaui atau berada di luar wilayah Kabupaten Banjar.
Oh iya, mengenai wajah ganteng itu, menurut istri saya, sangat mirip dengan artis terkenal tahun 90-an, Cok Simbara. Cok Simbara? Siapa pula orang itu. Saya akui, saya memang sedikit kuper. Suka menyendiri dan lebih asyik dengan diri sendiri. Maka, sepanjang perjalanan dari Martapura-Banjarmasin pulang pergi, saya masih belum bisa membayangkan seperti apa sosoknya. Beda kalau yang disebut itu semacam anggota Warkop DKI (Dono Kasino Indro), atau Kadir-Doyok, Grup Bagito (Miing, Didin, dan Unang), dan sederet aktor yang selalu bermain film bergenre komedi, saya pasti kenal. Saya memang tidak terlalu suka dengan film roman-romanan, berair mata, yang banyak mengekapose intrik percintaan, dan cengeng. Mungkin ini hanya karena beda selera saja.
Sampai di sini, saya masih cuek. Saya tidak terlalu peduli dengan siapapun yang memampangkan diri di baliho-baliho berukuran besar. Termasuk ucapan dan kata-kata bijak yang termuat bersamanya. Bukan karena saya anti politik dan memusuhi para politisi, bukan. Saya cuma tidak ingin mumet. Saya hanya ingin yang ringan-ringan saja. Santai dan selalu berusaha mencari sisi lucu dari semua peristiwa.
Kata orang saya ini apatis, tapi tidak juga. Malah justru melankolis dan sangat mudah terharu sampai menitikkan air mata kalau menyaksikan kisah-kisah mengharukan. Makanya saya tidak mau nonton film yang ada adegan tangis-tangisannya. Saya bisa nangis melebihi wanita. Sebagai pria, ini memang sisi pribadi yang amat memalukan. Bisa ngakak istri saya kalau dia tahu.
Saya pun kadang suka terharu bila membaca kata-kata bijak yang dapat membangkitkan semangat. Karena alasan itu pula saya sangat tidak ingin, bahkan sering membuang muka ketika melihat baliho besar di pinggir jalan. Takut mata ini sembab. Apa kata orang nantinya melihat saya tiba-tiba bersimbah air mata saat naik motor karena terharu membaca isi reklame. Pria apaan, lebay! Semoga istri saya tidak baca tulisan ini, karena sungguh, ini rahasia terbesar saya.
Siapa pria di baliho itu, siapa Cok Simbara, saya tidak peduli. Namun sikap keras kepala ini tidak bertahan lama. Sekitar dua tahunan, tepatnya hingga Ramadan baru tadi. Tanpa sengaja membaca sebuah artikel kesehatan di internet, yang menuliskan bahaya tidur setelah makan sahur. Saya manut berjaga sampai agak siangan. Untuk mengusir rasa kantuk setelah salat subuh, saya sibukkan diri dengan menonton TV. Tentunya acara yang ada humor-humornya.
Pilihan saya sebuah sinetron Ramadan yang menceritakan tiga pria konyol, yang sangat bermasalah dengan cinta, pekerjaan, dan nasib baik. Sepertinya, tiga orang ini tak pernah bernasib mujur. Selalu sial. Kerap terlibat konflik, kalau tidak rebutan cinta dan persaingan dengan pria-pria lain yang lebih tajir, pastilah konflik itu terkait masalah pekerjaan. Mereka bertiga juga kadang bermasalah dengan penghuni rusun lainnya, termasuk dengan orang tuanya yang mulai gerah dengan kesialan yang ditimbulkan mereka. Hanya satu orang yang selalu sabar dan sering menolong tiga semprul ini sekaligus menjadi tempat curhat dan meminta nasihat. Dia adalah Ustaz Kosim. Sosok ustaz sederhana, bijak, dan penuh keikhlasan. Dia juga sangat disegani oleh seisi rusun. Belakangan saya tahu, aktor yang memerankan Ustaz Kosim tak lain adalah Cok Simbara. Itupun setelah diberitahu istri saya. Rupanya ini orangnya.
Sampai di sini, saya belum juga sempat terpikir untuk menghubungkan kemiripan tokoh berpeci, berkemeja biru rapi di baliho itu. Saya masih begitu larut dengan cerita komedi yang menurut saya lucu, segar dan menarik. Ini pasti karena sutradara dan penulis naskahnya yang hebat. Mampu menyulap artis-artis yang sebenarnya bukan pelawak seperti Gading Marten dan Andika Pratama menjadi seorang yang sangat konyol dalam serial yang hanya tayang di pagi bulan puasa itu; Tiga Semprul Mengejar Surga. Begitu judulnya seingat saya.
Skip, skip, skip...Beberapa minggu berlalu usai lebaran. Saya belum juga tertarik mencari tahu, siapa pria berkemeja rapi, berpeci di baliho itu. Oh iya, di beberapa kesempatan, pria yang kata istri saya mirip Ustaz Kosim (Cok Simbara) itu, ternyata tidak selalu mengenakan kemeja biru dalam balihonya, pernah juga berpakaian baju koko warna putih dan sederhana. Bila sudah begini, betul-betul sangat mirip dengan sang ustaz. Hingga akhirnya di suatu siang, saya memiliki keperluan ke Banjarmasin. Melewati bundaran Km 17, mata saya tertumbuk pada baliho bergambar pria ini. Dia bersama istrinya. Terlihat cantik. Saya pikir, mereka berdua memang pasangan serasi. Apakah Cok Simbara juga memiliki istri yang berparas serupa dengan istri orang ini? Jangan-jangan memang demikianlah adanya.
Tumben dan seakan ada yang memerintahkan, saya menyempatkan berhenti, dan membaca tulisan-tulisan di dalamnya. Ucapan lebaran yang belum juga dilepas dari papan berukuran besar ini. Kalimatnya standar, “Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Bathin, bla…bla…bla…”. Di bagian bawah tertulis dengan huruf kapital: KELUARGA BESAR PANGERAN ABIDINSYAH. Ow oo, rupanya Abidin nama pria ini. Sampai di sini saya baru tahu namanya. Siapa dia dan apa latar belakangnya, belum. Mungkin dia tokoh penting di daerah ini, mungkin pula dia pejabat. Saya tak ambil pusing dan memilih melanjutkan perjalanan.
Tak terasa Idul Adha tiba. Karena terjadi perbedaan antara penganut Muhammadiyah dengan pemerintah dalam merayakan lebaran, kami ketiban berkah, mendapat libur kerja dua hari. Lumayan. Waktu itu saya gunakan untuk nonton televisi berbayar di rumah. Channelnya memutar film-film lawas. Dan sangat kebetulan, lagi-lagi diperankan oleh Cok Simbara. Judulnya: Kentut.
Diceritakan dalam film tersebut, seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit di Kabupaten Kuncup Mekar dan menjabat sebagai kepala rumah sakit. Namanya dr Fery. Tokoh ini diperankan Cok Simbara. Suatu hari dr Fery mendapat pasien yang merupakan orang penting. Pasien tersebut adalah Ibu Patiwa, salah satu calon bupati yang maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Kuncup Mekar. Karena pasiennya adalah orang penting, Fery mendapat tekanan yang berbeda dibanding menangani pasien biasa.
Tim sukses dari calon bupati tersebut terus menerus mendesak agar memberikan perawatan terbaik. Fery menjawab dengan bijak, bahwa pihak rumah sakit akan berusaha memberikan yang terbaik. Namun dia mengingatkan, tim dokter hanya berusaha, tetapi yang menentukan kesembuhan adalah Yang Maha Kuasa.
Keadaan menjadi semakin rumit karena banyak wartawan yang datang ke rumah sakit untuk meliput perkembangan kesehatan sang calon bupati. Nama baik dan kredibilitas rumah sakit menjadi sorotan publik. Sang dokter berada dalam situasi yang sangat membingungkan. Tim sukses yang tidak sabaran, para wartawan yang terus menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan sungguh membuatnya stress berat. Namun Cok Simbara, eh dr Fery tetap berusaha tenang dan sabar. Hingga akhirnya Fery mendapat suatu titik terang. Menemukan alternatif cara agar sang pasien bisa segera kentut. Dan ternyata benar, sang pasien benar-benar bisa kentut.
Sebuah cerita yang menurut saya sangat menghibur karena mengandung unsur komedi, kesukaan saya. Juga terdapat pelajaran berharga berupa ketenangan dan keyakinan yang ditunjukkan dr Fery. Film berakhir, digantikan tayangan iklan bermenit-menit.
Untuk membunuh kebosanan, menunggu film selanjutnya, saya memilih menyalakan internet. Tiba-tiba saya teringat tentang kembaran Cok Simbara di baliho ketika itu. Apa kabar dia ya? Saya pun mencarinya di mesin pencarian andalan. Apalagi kalau bukan google. Saya ketik kata kunci: Pangeran Abidinsyah. Informasi pun keluar susul menyusul. Dan ternyata sangat banyak. Rupanya dia memang tokoh yang banyak ditulis media.
Benar dugaan saya, saat pertama kali meneliti baliho di Km 17 dalam perjalanan ke Banjarmasin beberapa waktu lalu. Ternyata dia memang seorang pejabat, eselon dua. Pernah menduduki beberapa jabatan penting di Pemkab Banjar. Karirnya tergolong moncer. Pernah pula karena prestasi nasional yang dicapainya, Abidin sampai mendapat anugerah lompat naik pangkat sampai dua kali. Sesuatu yang sangat jarang diraih seorang pegawai negeri.
Laman demi laman situs berita saya baca untuk menuntaskan rasa penasaran pada pria berdarah bangsawan Banjar ini. Abidin ternyata seorang yang memiliki jiwa sosial yang terpuji. Terceritakan kalau dia bukan sosok peragu. Terlebih ketika harus menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Dia mengunjungi dan membantu keluarga tidak mampu yang kebetulan membutuhkan biaya pengobatan karena menderita penyakit berat dan terhimpit ekonomi. Dia memang tidak selalu mampu membiayai pengobatan orang yang ditolongnya seorang diri, apalagi dari kantong seorang pegawai negeri, walau Abidin memiliki jabatan yang tidaklah rendah.
Kalau sudah mentok, Abidin biasanya akan mengajak rekan-rekan sejawatnya untuk membantu. Dengan membuka dompet peduli untuk disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Di sinilah mungkin salah satu bukti kecerdasan dan talenta kepemimpinan yang dimilikinya. Tak salah jika salah satu parpol besar kemudian mau mengusungnya menjadi calon kepala daerah. Walaupun, saya sempat baca juga, proses pendaftarannya menjadi bakal calon kepala daerah harus melalui jalan berliku dan nyaris gagal akibat ditolak KPU setempat.
Ramai juga diberitakan, bagaimana perjuangan Pasangan Calon Abidinsyah-Mawardi untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon yang diusung oleh satu partai yang mengalami dualisme kepengurusan di tingkat pusat, harus mengikuti sidang-sidang melelahkan yang diselenggarakan Panwaslu untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan dirinya dengan KPUD.
Dan Uniknya, di tengah perjuangan hidup mati untuk mendapatkan pengesahan sebagai calon kepala daerah saja, pasangan yang kemudian mengusung jargon Abdi ini harus pula menghadapi upaya calon lawan politik, tiga pasangan calon kepala daerah lain yang lebih dulu disahkan KPUD, berusaha mengadang langkah Abidin memasuki gelanggang pertarungan. Sampai-sampai mereka bertiga yang harusnya saling bersaing, malah memilih bersatu dan membentuk semacam forum komunikasi untuk menyingkirkan pasangan ini. Begitulah politik. Kadang kejam. Benarlah sebuah ungkapan, tak ada teman sejati dan tak musuh abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Karena itu pula, saya cenderung memilih kata tidak untuk politik.
Semakin jauh laman yang terbaca, semakin banyak informasi tentang Abidin yang terbuka. Si “Cok Simbara” ini ternyata juga sangat peduli dengan aktivitas dan pembinaan keagamaan. Mungkin karena dia Ketua ICMI. Tapi yang jelas dia terlihat begitu aktif memerangi buta aksara hijaiyah, dengan membuka sebanyak-banyaknya lembaga baca tulis Alquran. Kalau Soeharto disebut Bapak Pembangunan, Gusdur Bapak Fluralisme, untuk skop yang lebih kecil di daerah, Abidin layak disandangkan dengan sebutan Bapak Iqra Kabupaten Banjar. Setidaknya demikian pendapat saya. Sampai di sini saya mulai terharu dan menitikkan air mata. Walau secara pribadi, saya tidak mengenalnya, begitupun dia.
Begitulah. Seandainya kelak, dari hasil pemilihan yang jujur dan adil, si Cok Simbara kawe satu ini terpilih memimpin kabupaten yang berjuluk Serambi Mekkah, menjadi bupati di bumi yang banyak mencetak para santri di nusantara, dan mengabdi total pada masyarakatnya yang sangat agamis, saya rasa warga tidaklah akan terbebani rasa berdosa karena memilih dia, sebab pilihan mereka sudah tepat. Setidaknya begitu menurut saya. ()