Sunday 27 September 2015

Biarkan Selfie Narsis Bicara

DALAM sebuah kelas coaching clinic yang digelar di kantor saya, ada materi tentang fotografi. Pembicaranya seorang fotografer kawakan dari kantor pusat. Menurut teori, kata dia, sebuah karya foto adalah sarana untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkannya.

Seorang fotografer yang memiliki kepekaan dalam melihat obyek di sekitarnya, hasil fotonya bisa menyampaikan pesan lebih, bahkan bisa muncul suasana lain di dalamnya yang mungkin orang kebanyakan tidak merasakannya. Karenanya, bagi seorang fotografer yang penting adalah foto yang dihasilkan bisa bicara dan menginspirasi. Itu teori yang dikatakannya.

Tapi saya punya teori juga yang didapat dari ilham. Mungkin dari mimpi atau pernah baca dari buku atau sumber lain, namun sudah terselip dan terpendam sekian dalam di alam bawah sadar. Sehingga ketika mendengar teori tentang foto berbicara dan menginspirasi, pikiran saya mendadak memunculkan hal serupa, namun bertolak belakang.

Menurut teori saya, untuk sementara saya sebut begitu dulu karena hingga saat ini saya masih belum mampu mengingat sumbernya, atau jangan-jangan memang belum ada seorangpun yang mengemukakann teori ini; foto yang mampu berbicara itu belumlah segalanya. Belum mampu melampaui sebuah foto yang dibicarakan, foto yang menjadi buah bibir. Berbicara dan dibicarakan itu memiliki makna yang berbeda. Maqom-nya pun sangat jauh.

Foto yang berbicara itu adalah foto yang sangat ingin dibicarakan. Perkara apakah nantinya harapannya akan terwujud, tergantung penerimaan dari orang yang menilainya. Tentu saja ini sangat berbeda dengan sebuah foto yang telah berada di level foto dibicarakan. Foto yang dibicarakan itu sudah pasti adalah foto yang berbicara, yang kemudian berevolusi menjadi foto yang dibicarakan banyak orang.

Foto yang dibicarakan itu sudah pasti akan menjadi berita. Dia adalah sumber berita itu sendiri, dia menjadi buah bibir, viral dunia maya, dan dibicarakan di mana-mana. Sehingga wartawan menjadi sangat berkepentingan dengan foto itu untuk disiarkan. Entah itu dengan cara difoto lagi (direpro) atau dituliskan menjadi sebuah berita yang bernilai.

Sedangkan foto yang berbicara, hanyalah foto yang sedang berjuang meminta perhatian. Dengan harapan dia nantinya menjadi foto yang dibicarakan, dipuji, disanjung, dinobatkan menjadi ini-itu, dielu-elukan. Tapi apakah lantas terwujud. Tergantung. Nasib baik yang menentukan kemudian.

Makanya, jangan bangga dulu karena mampu membuat foto berbicara. Sebab, foto yang berbicara itu belum tentu menjadi foto yang dibicarakan. Foto berbicara itu hanya sebatas sebuah potret yang terkungkung oleh kebanggaan pribadi seorang fotografer, yang belum tentu diterima dan dibicarakan orang lain.

Saya punya seorang kawan yang hobi berpose dengan para pesohor. Bahkan hobinya ini sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Ketika melihat seorang pesohor, dia mendadak seperti kehilangan akal sehatnya dan instingnya sebagai wartawan. Dia mendadak blank. Satu-satunya yang mampu diingat hanyalah, dia harus berfoto dengan pesohor yang ditemuinya. Bagaimanapun caranya.

Dia akan linglung dan kehilangan gairah, hanya gara-gara gagal berfoto dengan seorang artis dangdut pendatang baru yang belum terlalu terkenal. Prinsifnya, dia harus berfoto dengan siapapun yang terkenal. Walau itu artis tingkat kampung. Karena konsep terkenal menurut keyakinannya adalah dikenal lebih dari 10 orang. Entah, dari mana konsep itu dipungutnya.

Dan saya sempat mengira, jalan satu-satunya untuk menjaga kewarasannya hanyalah dengan berfoto itu. Ternyata saya salah. Dia justru lebih parah kala berhasil. Saat sukses menjepret dirinya dengan seorang pesohor, kebetulan tokoh salah satu parpol tingkat nasional, dia malah mengalami semacam euforia berlebih. Terserang amnesia. Lalu akhirnya lupa harus menulis berita apa, gara-gara terlalu gembira. Ketika redaktur menanyakan beritanya, dia malah cengengesan sambil menyerahkan foto dirinya dengan sang tokoh. Mungkin dia berharap, fotonya itu bisa masuk koran dan ikutan terkenal.

Saat resign dari kantor kami dan membuka usaha wiraswasta, kegemarannya berfoto dengan pesohor tidak lantas berhenti. Hanya saja sedikit berkurang karena mungkin agak sulit, sebab aksesnya mendekati para pesohor sekarang menjadi tidak mudah. Tahu sendirilah, wartawan kan mudah menyusup kemana saja. Cukup berbekal ID Card, dia bisa menerobos, bahkan sampai ke kamar ganti artis.

Tidak lebih dari setahun berwiraswasta, dia mulai frustasi dan memilih kembali berkarir di media, meski harus pindah ke media massa yang lebih kecil. Mungkin karena dia sudah tidak bisa lagi berselfie ria dengan artis, tokoh parpol, kepala daerah, dan para peshor lainnya.

Tahukah Anda, setiap dia berhasil berfoto dengan artis, dia berusaha keras menerbitkannya di media massa. Kalau ternyata gagal, dia tak habis pikir. Apalagi zaman medsos seperti sekarang. Dia akan memamerkannya di facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Kegilaan yang sulit untuk disembuhkan.

Itu tadi cerita tentang seorang kawan. Saya punya seorang kawan lagi yang juga memiliki kegilaan serupa. Dia juga senang memoto dirinya, dan memostingnya ke media sosial. Hanya saja, yang jadi objek targetnya bukanlah orang terkenal. Melainkan benda-benda unik, ganjil, maupun suasana yang berbeda dari kelaziman, dan agak norak.

Pernah dia berfoto di sebuah objek wisata. Saya menduga, dia berfoto di lokasi candi borobudur. Walapun saya tidak terlalu yakin dengan dugaan saya. Kawan saya itu berfoto di dekat tulisan: “No Smoking” yang terpasang di lokasi candi, sambil menyalakan sebatang rokok. Begitu bangganya dia saat memasang foto itu di facebook miliknya, sambil berkoar, merokok adalah hak asasi manusia. Melarangnya berarti telah melanggar HAM. Sinting!

Dia juga pernah berpose di dekat sebuah patung kakek mengenakan blangkon. Saya pernah melihat patung itu. Menilik suasana sekitarnya dan kesibukan orang berbelanja, sepertinya itu di salah satu toko yang menjual souvenir di bilangan Jl Molioboro Jogja. Saya sempat berdebat dengan beberapa pengunjung facebooknya yang mengatakan kalau lokasi patung itu berada di lingkungan keraton. Si pemilik foto, kawan saya itu, begitu menikmati perdebatan di dunia maya itu dengan tanpa memberi komentar apapun.

Dari dua kawan yang memiliki kegilaan serupa ini, saya menyimpulkan, foto mereka berdua dapat digolongkan ke dalam dua mazhab berbeda; mazhab foto berbicara; dan foto dibicarakan. Untuk contoh pertama, memang foto bicara. Menunjukkan kalau dia sedang berfoto dengan artis A, tokoh B, selebriti C, dan lain-lain. Namun tak satupun orang yang mau membicarakannya. Yang ada malah nyinyir. Menatap sebentar, setelah itu beralih.

Berbeda dengan kawan yang kedua, foto yang dihasilkannya sukses menjadi foto yang dibicarakan. Memancing orang untuk menduga-duga. Sekurang-kurangnya akan tertawa. Memang agak menghibur, sampai ada yang mengatakan, fotonya cukup gila dan orangnya pasti sinting.

Terinspirasi dari kegilaan mereka, saya mencoba membangun mazhab baru dalam berpose; yaitu berpose dengan orang gila, berselfie di tempat pembuangan sampah penuh lalat, berpose dengan mayat, pembunuh berantai, pemerkosa janda, pencuri yang habis digebuki massa, berfoto di dalam gelap, dan lainnya. Dan prestasi terbesar saya dalam berpose narsis adalah, berfoto dengan pejabat, artis, selebrita, dengan wajah saya yang sengaja saya tutup dengan masker. ()

No comments:

Post a Comment